Daerah
Lintang Empat Lawang ini berada dalam wilayah Sumatera Selatan, berbatasan
langsung dengan Provinsi Bengkulu. Di daerah
ini banyak terdapat tempat-tempat angker yang menjadi sarang mahluk halus
sejenis peri (jin perempuan), mesumai (siluman yang pandai menyamar jadi seseorang),
jin, dan ular siluman.
Tempat
angker itu diantaranya Tebat Seghut, Pangkal Jeramba Ayik Lintang, Ayik Gaung,
dan Hutan Larangan dan beberapa tempat lain yang tidak bisa disebutkan
satu-persatu.
Dalam
tulisan ini aku hanya menceritakan seputar misteri Tebat Seghut. Tempat ini
berupa danau kecil yang disebut Tebat (bahasa Lintang,red) yang penuh belukar
(”seghut” bahasa Lintang,red).
Tebat
Seghut ini pada zaman dahulu dikuasai oleh Repati Qoris (Repati atau depati
adalah sebutan untuk raja bawahan Sunan Palembang). Sekarang keturunan Repati
Qoris yang mewarisinya. Sejak masa Repati Qoris hingga keturunannya Tebat
Seghut dijadikan tempat memelihara ikan, yang akan dipanen setahun sekali.
Keangkeran
Tebat Seghut sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Lintang, khususnya yang
berada di desa-desa terdekat seperti Desa Gunung Meraksa Baru, Beruge Tengah,
Batucawang, Manggilan, Beruge Ilir, Pendopo Lintang. dan Muaralintang.
Ular
Raksasa
Ilustrasi Ular Raksasa |
Ada kisah menceritakan Suatu hari seseorang bernama Saman ikut orang tuanya memancing ikan di Tebat Seghut. Hari itu adalah Jumat. Perlu diketahui bahwa hari Jumat adalah hari terlarang bagi warga setempat untuk mendekati Tebat Seghut apalagi saat orang sholat Jumat.
Sebagaimana
lazimnya hari Jumat ,jam sekolah lebih pendek, pukul 11.00 anak-anak sudah
pulang. Hari itu sepulang sekolah Saman langsung menghambur ke kebun, menyusul
orang tua dan kakak-kakaknya. Sesampai di kebun yang berada di
tepi Tebat Seghut, Saman mengajak kakak dan ayahnya memancing ikan. Dia
terpikat melihat ikan melompat-lompat seakan mengundang dia bermain di air.
Mang Dahlan, ayah Saman juga berhasrat membakar ikan untuk lauk makan siang.
Maka mereka pun naik rakit bambu melayari air Tebat Seghut menuju ke tengah.
Mereka kemudian asyik memancing ikan. Apalagi hari itu ikan sangat mudah
melahap umpan di mata kail, sehingga dalam waktu sebentar saja mereka sudah
mendapat banyak ikan.
Merasa belum puas dengan hasil
yang didapat, Mang Dahlan bermaksud menggeser rakit ke tempat yang diperkirakan
ikannya lebih besar. Saman dan kakaknya ikut mengayuh galah bambu sebagai alat
menggerakkan rakit supaya meluncur di air.
Saat
itulah, tutur Saman, terjadi keanehan. Rakit yang semula amat mudah digerakkan
mendadak tidak mau bergeser. Tiap kali mereka mengayuh galah bambu, rakit hanya
berputar-putar di tempat. Karena jengkel, Mang Dahlan mengumpat-umpat sambil
membentak, ”Hai setan! Jangan ganggu kami, kalau berani keluar!”
Sesaat
setelah ayahnya mengumpat dan mengeluarkan makian, kata Saman, air di sekitar
rakit tiba-tiba menggelegak, mengeluarkan buih seperti air mendidih. Mereka
semua terkejut. Namun, belum hilang rasa tekejut itu mereka dikagetkan lagi
dengan munculnya seekor ular raksasa sebesar batang kelapa.
”Saya tak kuasa menahan kencing,” kata Saman. Sedangkan ayahnya langsung terduduk lemas di atas rakit, begitu pula dengan kakaknya. Sesaat mereka terpukau, tak bisa berbuat apa-apa. Untung saja ayah Saman cepat menyadari kekeliruannya. Dia langsung memohon maaf pada penguasa Tebat Seghut dan menyatakan penyesalan. ”Ninek, puyang penunggu Tebat Seghut, aku minta maaf, aku ngaku salah. Tolong bebaskan kami”, Mang Dahlan menghiba sambil berlutut. Seakan mengerti permintaan maaf Mang Dahlan, ular besar yang tadi mengangkat kepala menjulang setinggi lima meter, itu mendadak menceburkan diri kembali ke dalam air. Rakit yang ditumpangi Mang Dahlan dan dua anak lelakinya itu terguncang-guncang oleh gelombang air bekas hempasan tubuh ular raksasa tadi. Setelah ular itu menghilang di kedalaman air Tebat Seghut, barulah rakit yang mereka tumpangi bisa dikemudikan lagi. Mereka lalu cepat-cepat menepi, lalu mendarat membawa ikan hasil mancing. Sejak saat itu, kata Saman, mereka tidak berani lagi sembarangan turun mencari ikan di Tebat Seghut.
Dilarikan Mesumai
Ilustrasi Mesumai |
Kemunculannya
biasanya saat menjelang maghrib, tengah hari waktu menjelang shalat dzuhur atau
shalat jumat atau di tempat-tempat sepi.
Suatu hari
tahun 1976, desaku kedatangan seorang guru dari Yogyakarta. Sumanto, nama guru
itu. Dia mengajar di SMP Negeri Pendopo Lintang. Pak Sumanto, demikian kami
biasa memanggilnya, dia mondok di rumah uwakku yang mengakuinya sebagai anak
angkat.
Sejak
kedatangannya di desaku, dia sudah diberitahu tentang berbagai pantangan di
sini. Misalnya, saat menjelang waktu-waktu shalat tidak boleh melakukan
perjalanan ke tepi hutan atau ke kebun. Pulang dari kebun jangan terlalu sore
apalagi sudah mendekati waktu maghrib. Jika berada di kebun atau hutan tidak
boleh berteriak-teriak memanggil nama orang.
Peringatan
itu ternyata tidak menjadi perhatian Pak Sumanto. Dia merasa berasal dari kota
besar yang jauh dari kepercayaan berbau tahayul. Hal-hal yang lazim jadi
pantangan warga setempat diabaikan saja oleh Pak Sumanto.
Hingga pada suatu hari hal yang ditakutkan terjadi menimpa Pak Sumanto. Lelaki penyandang Dan II Karate itu dikabarkan hilang. Seisi kampung geger. Semua lelaki dewasa dan anak-anak muda dikerahkan mencarinya ke dalam hutan kawasan Tebat Seghut. Pencarian berlangsung hingga tengah malam.
Pada saat
tim pencari sudah berkumpul kembali di desa dengan tangan hampa, Pak Sumanto
tiba-tiba muncul di samping rumah seorang warga. Dia ditemukan dalam keadaan
linglung dan berusaha melarikan diri ketika berjumpa penduduk. Untung warga
cepat tanggap dan langsung meringkusnya. Dia langsung dibawa pulang dan
dimandikan. Setelah dibacakan beberapa ayat Al Quran barulah Sumanto sadar. Dia
terheran-heran melihat banyak orang mengerubunginya.
Apa yang dialami Pak Sumato hari itu? Menurut penuturannya, siangnya, tepatnya pukul 11.30, kebetulan hari itu Jumat, dia berangkat ke kebun cengkeh milik ibu angkatnya. Dia ingin membantu memetik cengkeh. Padahal, ibu angkatnya sudah melarang dan menyarankan agar dia berangkat ke kebun seusai waktu shalat jumat. Ternyata diam-diam dia tetap berangkat.
Ketika mendekati hutan, tutur Pak Sumanto, tiba-tiba dia lupa arah ke kebun. Dia berputar-putar di satu tempat, tidak ketemu jalan. Berulang-ulang dia berjalan, tapi kembali ke tempat itu-itu juga. Akhirnya dia kelelahan, lalu beristirahat di bawah sebatang kelapa.
Saat dia
beristirahat itulah ada seorang lelaki pendek dan kekar berpakaian serba hitam
menghampirinya. Pak Sumanto langsung saja bertanya pada orang itu arah ke kebun
Pak Haji Azis, bapak angkatnya. Lelaki berpakaian hitam itu menunjuk ke satu
arah sembari menawarkan jasa mengantar Pak Sumanto.
Menurut Pak
Sumanto dia mengikuti orang misterius itu berjalan menuju kebun Haji Azis. Dia
merasa baru berjalan beberapa menit ketika ditemukan orang di dekat sebuah
rumah penduduk. ”Saya baru sadar setelah berada di rumah, ternyata saya
berjalan hampir sehari penuh,”tuturnya. Sejak saat itu Pak Sumanto berhati-hati
bila mendekati kawasan Tebat Seghut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar